Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Media sosial, yang seharusnya menjadi perpustakaan raksasa yang berisi ilmu pengetahuan global, kini seringkali terasa seperti karnaval tanpa batas. Kita berada di era paradoks digital, di mana akses ke informasi edukatif terbaik dunia hanya sejarak sentuhan jari, namun kebanyakan dari kita lebih memilih untuk berlama-lama menyaksikan video tarian, konten komedi singkat, atau drama yang minim substansi.

Pertanyaannya, mengapa? Mengapa otak kita lebih tertarik pada informasi sepele dan cepat dibandingkan konten berbobot yang membutuhkan pemikiran mendalam? Jawabannya terletak pada dua kekuatan dominan: Sifat dasar manusia yang menyukai kesenangan instan dan Algoritma Media Sosial.
Data Menggugat: Dominasi Hiburan dalam Konsumsi Konten
Data menunjukkan bahwa tren preferensi hiburan sangat kuat, terutama di kalangan generasi muda Indonesia:
1. Peran Algoritma dan Durasi Konten
Platform media sosial (terutama video pendek seperti TikTok dan Instagram Reels) dirancang untuk memaksimalkan engagement (keterlibatan pengguna) dan time spent (waktu yang dihabiskan).
- Konten Hiburan Menang Cepat: Konten tarian, komedi, atau challenges mampu memicu emosi, rasa penasaran, dan kesenangan dalam beberapa detik pertama. Hal ini memicu pelepasan dopamin (hormon kesenangan) yang membuat otak ingin scroll lagi dan lagi.
- Algoritma Memperkuat Filter Bubble: Algoritma akan terus menyajikan konten serupa yang pernah Anda tonton dan like (sukai), menciptakan “gelembung filter” (filter bubble) yang memperkuat bias Anda terhadap hiburan ringan dan semakin menyingkirkan konten edukasi yang membutuhkan waktu tonton lebih lama atau fokus yang lebih besar.
2. Preferensi Generasi Terhadap Konten
Penelitian mengenai penggunaan media sosial di Indonesia menunjukkan adanya preferensi yang beragam berdasarkan usia, namun konten hiburan tetap mendominasi:
- Generasi Z (Gen Z): Generasi ini adalah pengguna utama platform video pendek. Riset menunjukkan Gen Z sangat menyukai konten yang interaktif, ringan, dan mengikuti tren viral (seperti tantangan atau tarian) sebagai sarana ekspresi diri.
- Millennials (Gen Y): Generasi ini lebih seimbang, dengan minat pada konten review produk, travel, dan edukasi yang relevan dengan pengembangan karier atau kehidupan praktis (seperti pengelolaan keuangan atau parenting).
Meskipun konten edukasi ada, ia harus dikemas secara sangat kreatif dan ringkas agar dapat bersaing dengan konten hiburan yang jauh lebih mudah dicerna.
Dampak Jangka Panjang: Harga yang Harus Dibayar
Jika kecenderungan ini dibiarkan, dampaknya terhadap kualitas diri dan masyarakat dapat sangat merugikan:
1. Erosi Kapasitas Berpikir Kritis
Konten sepele yang cepat dan ringkas melatih otak kita untuk mencari informasi instan dan tidak sabar terhadap proses belajar yang kompleks.
Fenomena: Seseorang lebih memilih kesimpulan cepat tentang isu politik dari video 30 detik yang sensasional daripada membaca analisis mendalam dari jurnal atau buku yang membutuhkan waktu 30 menit.
Akibatnya, kapasitas kita untuk berpikir kritis, menganalisis informasi dari berbagai sudut pandang, dan menyelesaikan masalah yang rumit (problem-solving) akan tereduksi.
2. Kelelahan Informasi dan Kecemasan (FOMO)
Meskipun kontennya ringan, scrolling tanpa henti dapat menyebabkan “kelelahan informasi” (information overload) dan gangguan konsentrasi. Ditambah lagi, paparan terus-menerus pada “versi terbaik” dari kehidupan orang lain (yang seringkali palsu) dapat memicu rasa insecure (tidak aman) dan ketakutan tertinggal (FOMO – Fear of Missing Out).
3. Degradasi Nilai Ilmu Pengetahuan
Ketika tontonan viral dengan durasi pendek menghasilkan jutaan views dan penghasilan besar bagi kreatornya, sementara konten edukasi yang membutuhkan riset mendalam hanya mendapatkan ribuan views, maka nilai dan penghargaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan intelektual akan menurun.
Solusi: Menjadi “Kurator” Cerdas di Dunia Digital
Kita tidak bisa menyalahkan algoritma sepenuhnya, karena algoritma hanyalah cerminan dari apa yang kita berikan padanya. Kita memiliki kekuatan untuk “melatih” algoritma.
Langkah Praktis Menuju Konsumsi Konten Sehat
- Sengaja Follow Akun Edukasi: Secara aktif cari dan follow akun-akun yang menyajikan ilmu pengetahuan, sejarah, atau keterampilan (misalnya, akun tentang sains, buku, atau bahasa asing).
- Berhenti pada Konten Berbobot: Jika Anda menemukan video edukasi yang bagus, tonton sampai selesai. Berikan like dan tinggalkan komentar yang relevan. Tindakan ini memberi sinyal kuat kepada algoritma bahwa Anda menyukai konten yang berbobot.
- Tentukan Jam Tepat: Alokasikan waktu khusus untuk hiburan (misalnya 30 menit sebelum tidur) dan waktu khusus untuk learning (misalnya 30 menit setelah bangun). Jangan mencampuradukkan keduanya.
- Beralih ke Deep Work: Sadari bahwa ilmu yang mendalam tidak pernah disajikan dalam format 15 detik. Libatkan diri Anda pada kegiatan offline yang membutuhkan fokus panjang, seperti membaca buku fisik, mengikuti seminar, atau melakukan riset pribadi.
Kesimpulan: Media sosial adalah alat netral. Kualitas output yang kita dapatkan sepenuhnya bergantung pada kualitas input yang kita berikan, baik itu berupa interaksi, waktu, maupun perhatian. Mari kita ubah scrolling tanpa tujuan menjadi eksplorasi ilmu yang disengaja.