Kekuatan Prasangka dan Janji Ilahi

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pondasi hubungan seorang hamba dengan Tuhannya dibangun di atas sebuah prinsip fundamental yang seringkali luput dari kesadaran kita: Prasangka. Prasangka kita terhadap Allah SWT, baik itu prasangka baik (husnuzan) maupun prasangka buruk (su’uzan), adalah cerminan dari keyakinan kita dan secara langsung memengaruhi takdir yang kita jalani.

Mari kita renungkan kembali Hadis Qudsi yang agung ini:

“Aku bersama prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Memahami Makna “Bersama Prasangka”

Frasa “Aku bersama prasangka hamba-Ku” bukan sekadar ucapan penghiburan, tetapi sebuah mekanisme spiritual yang aktif. Ini berarti:

  1. Jika kita berprasangka bahwa Allah Maha Pengampun: Maka kita akan dimudahkan untuk bertaubat dengan tulus, dan rahmat pengampunan-Nya akan tercurah.
  2. Jika kita berprasangka bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki: Maka kita akan memiliki ketenangan dalam mencari nafkah, yakin bahwa rezeki tidak akan tertukar, dan dimudahkan jalan usahanya.
  3. Jika kita berprasangka bahwa Allah Maha Penolong dalam kesulitan: Maka hati kita akan tenang saat diuji, dan kita akan melihat pertolongan-Nya datang dari arah yang tak disangka-sangka.

Sebaliknya, jika seseorang selalu berprasangka buruk—misalnya, merasa doanya tidak akan dikabulkan, atau merasa dirinya terlalu berdosa untuk diampuni—maka ia telah membangun dinding antara dirinya dan Rahmat Allah.

Ancaman Kata “Tidak Bisa”: Mematikan Ikhtiar dan Harapan

Kekuatan prasangka ini berbanding lurus dengan kekuatan perkataan dan pikiran kita. Dalam menghadapi tantangan dan masalah, ada satu kalimat berbahaya yang secara instan dapat merusak husnuzan kita, yaitu: “Saya Tidak Bisa.”

Mengucapkan “tidak bisa” adalah manifestasi dari su’uzan ganda: su’uzan terhadap kemampuan diri yang diciptakan sempurna oleh Allah, dan su’uzan terhadap janji pertolongan-Nya.

4 Alasan Mengapa “Tidak Bisa” Mempersulit Masalah

  1. Pembunuhan Jiwa Ikhtiar (Usaha): Dalam Islam, amal dan hasilnya ditentukan oleh ikhtiar. Saat kita mengatakan “tidak bisa,” kita secara prematur mengakhiri ikhtiar. Padahal, Allah berfirman: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Perubahan dimulai dari usaha, dan ucapan “tidak bisa” mematikan usaha itu.
  2. Mengunci Pintu Solusi Kreatif: Pikiran kita adalah mesin pencari solusi yang luar biasa. Namun, begitu perintah “tidak bisa” dimasukkan, otak akan berhenti mencari jalan keluar. Ia akan fokus pada pembenaran mengapa kegagalan itu terjadi, bukan pada cara mengatasi rintangan. Ini secara efektif mempersulit masalah, bukan mempermudahnya.
  3. Memperkuat Mentalitas Korban: Orang yang sering mengatakan “tidak bisa” cenderung melihat dirinya sebagai korban keadaan. Hal ini menghilangkan rasa tanggung jawab dan kekuatan untuk bangkit. Ia lupa bahwa kesulitan adalah medan ujian, bukan hukuman, dan bahwa setiap hamba dibekali kemampuan untuk lulus.
  4. Menjauhkan Diri dari Tawakall: Tawakal adalah menyerahkan hasil kepada Allah setelah berusaha maksimal. Jika kita mengatakan “tidak bisa,” kita tidak berusaha maksimal, sehingga tawakal kita menjadi lemah dan tidak memiliki dasar yang kuat.

Strategi Mengubah Prasangka: Dari “Tidak Bisa” Menjadi “Saya Akan Mencoba”

Langkah praktis untuk memanfaatkan janji Allah tentang prasangka adalah dengan melatih diri untuk mengubah bahasa batin dan lisan kita.

1. Ganti Fokus dari Hasil ke Proses

Daripada berfokus pada seberapa besar masalah (hasil yang ditakuti), fokuslah pada langkah kecil yang bisa diambil (proses).

  • JANGAN: “Saya tidak bisa melunasi utang sebesar ini!”
  • GANTI: “Saya akan berusaha keras mencari satu cara tambahan untuk mendapat penghasilan hari ini, dan saya yakin Allah akan membukakan jalan.”

2. Gunakan Doa Nabi Ayyub AS sebagai Affirmasi

Nabi Ayyub AS adalah teladan kesabaran dalam menghadapi cobaan fisik dan harta yang luar biasa. Doa beliau menunjukkan husnuzan tingkat tinggi, tanpa mengeluh, hanya memohon Rahmat:

Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)

Gunakan doa ini untuk mengganti keluhan. Akui kesulitan Anda kepada Allah, namun segera iringi dengan keyakinan (prasangka baik) bahwa Dia adalah Yang Maha Pengasih dan Penolong.

3. Ingat Janji Kemudahan

Setiap kali Anda merasa ingin menyerah dan mengucapkan “tidak bisa,” segera aktifkan memori spiritual Anda pada surah Al-Insyirah:

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Penekanan kata “bersama” (ma’a) dalam ayat ini mengajarkan kita bahwa kemudahan dan kesulitan itu bergandengan. Kemudahan tidak menunggu kesulitan selesai, ia sudah ada di dalamnya, menanti untuk ditemukan melalui usaha dan prasangka baik kita.


Penutup: Hidup Adalah Cerminan Prasangka Kita

Marilah kita jaga lisan, hati, dan pikiran kita dari segala bentuk su’uzan yang dapat membatasi Rahmat Allah SWT. Jadikan husnuzan sebagai pakaian spiritual kita sehari-hari, yakinlah bahwa Allah SWT adalah sebagaimana kita sangkakan kepada-Nya. Dengan keyakinan ini, tidak ada lagi kata “tidak bisa,” melainkan: “Saya akan berusaha, dan Allah pasti menolong.”

Semoga Allah SWT menguatkan hati kita untuk selalu berprasangka baik kepada-Nya dalam setiap langkah kehidupan. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Keranjang Belanja